Beberapa hari lalu, Baleg DPR RI telah menerima surat yang ditandatangani oleh sejumlah pengusul yang datang dari sejumlah rekan saya di DPR RI perihal permohonan harmonisasi RUU Larangan Minuman Beralkohol. Persoalan ini kembali muncul di permukaan, ragam reaksi juga saya rekam dari masyarakat yang mendengar kabar tersebut. Pro-Kontra menghiasi sajian diskusi di banyak platform media sosial, lantas apa pandangan saya?
Saya merasakan de javu akan situasi ini. Pendekatan sanksi pidana bagi setiap orang yang melanggar rasanya sudah menjadi culture dalam hukum positif kita. Sekali lagi, de javu yang saya rasakan adalah perasaan yang sama ketika melihat permasalahan UU Narkotika yang sudah lebih dari satu dasawarsa mengirim para pecandu maupun korban penyalahgunaan narkotika ke penjara dan hasilnya adalah Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) di negara kita penuh sesak oleh manusia, banyaknya instrumen HAM yang tidak terpenuhi, dan yang lebih penting adalah soal pemborosan anggaran yang diakibatkan penuhnya Lapas.
Overkriminalisasi. Ini yang akan tergambar dalam imaji saya soal RUU Larangan Minuman Beralkohol. Kita tidak pernah mendudukan persoalan sistem peradilan pidana secara menyeluruh, terutama dengan pendekatan cost and benefit dari suatu peraturan yang akan dibentuk.
Pasca reformasi, kita punya kelatahan dalam membentuk produk hukum dengan jubah besar yang bermerk “larangan”. Saya takut, niat baik untuk menekan angka-angka kejahatan justru bertolak-belakang dengan hasil yang didapatkan.
Rehabilitasi bagi pecandu narkotika di negara ini masih sangat jauh dari kata layak. Balai rehabilitasi masih sangat minim tersedia, konselor adiksi juga masih sangat sedikit jumlahnya, serta anggaran yang tidak memadai untuk mendukung program penyembuhan bagi para pecandu yang jumlahnya sangat banyak. Apakah dengan pelarangan dan menyajikan sanksi pidana bagi pelanggar minuman beralkohol akan punya dampak serupa? Tentu saja, iya. Apakah RUU Larangan Minol ini kebijakan yang efisien? Belum tentu.
Dengan semangat untuk menjaga kesehatan publik agar terhindar dari banyak penyakit yang disebabkan oleh minuman beralkohol, saya menaruh respect akan hal itu. Namun, saya mendesak agar kita mencoba ubah paradigma retributive. Masyarakat kita membutuhkan suara-suara yang lebih logis dan rasional daripada adanya aturan yang impulsif untuk menghukum mereka.
Selain itu, jeruji besi di lapas sudah habis ruangnya untuk ditempati oleh mereka yang masuk dalam radar penghukuman RUU Larangan Minol ini, apa kita tidak berpikir jauh ke arah sana? Jangan ulangi kesalahan UU Narkotik.
(Penulis : DR HINCA IP PANDJAITAN XIII SH MH ACCS / KOMISI III DPR RI FRAKSI PARTAI DEMOKRAT)
More Stories
DPRD Medan Minta Satpol PP Bongkar Paksa Bangunan di Sei Rengas Permata
KPU Medan Tetapkan Rico Wass-Zakiyuddin Walikota Medan 2025-2030
Terancam Ambruk, Komisi IV DPRD Minta Bongkar Pagar Tembok di Medan Amplas